Oleh Rizal Aldin
Salah satu senjata yang paling penting bagi negara yang terlibat dalam Perang Dunia II adalah propaganda. Dan mungkin, media yang paling cocok untuk itu adalah gedung bioskop, karena daya tarik visualnya yang menimbulkan efek dramatis.
Perang Dunia II mengubah status film dokumenter ke tingkat yang lebih tinggi. Pemerintah Amerika Serikat (AS) bahkan meminta bantuan industri film Hollywood untuk memproduksi film-film (propaganda) yang mendukung perang. Film-film dokumenter juga menjadi semakin populer di masyarakat.
Pakar ilmu propaganda film, Prof Dr Richard Taylor mengatakan, “Propaganda adalah usaha untuk memengaruhi opini publik (penonton) melalui transmisi ide-ide dan nilai-nilai.”
Pakar ilmu propaganda film, Prof Dr Richard Taylor mengatakan, “Propaganda adalah usaha untuk memengaruhi opini publik (penonton) melalui transmisi ide-ide dan nilai-nilai.”
Apa yang membedakan propaganda dari kegiatan sosial-politik lainnya, ujar Taylor, adalah bahwa ia mengejar tujuan, dan arah politik. Terlepas dari bagaimana sebuah karya seni bisa berpengaruh, hanya berfungsi sebagai propaganda jika mengejar suatu tujuan, atau jika oleh propagandis diletakkan dalam konteks yang melayani tujuan.
Ketika perang pecah di Eropa pada tahun 1939, AS menjadi satu-satunya kekuatan besar tanpa agen propaganda. Namun, semuanya berubah setelah peristiwa Pearl Harbor. Maka berdirilah Office of Coordinator of Information (Kantor Koordinator Informasi) sebagai perantara intelijen dan propaganda pemerintah AS.
Ketika perang pecah di Eropa pada tahun 1939, AS menjadi satu-satunya kekuatan besar tanpa agen propaganda. Namun, semuanya berubah setelah peristiwa Pearl Harbor. Maka berdirilah Office of Coordinator of Information (Kantor Koordinator Informasi) sebagai perantara intelijen dan propaganda pemerintah AS.
Sepuluh hari setelah peristiwa Pearl Harbor, 17 Desember 1941, Roosevelt menunjuk Lowell Mellett, mantan editor dari Washington Daily News sebagai koordinator film pemerintah, yang bertindak sebagai penghubung antara pemerintah dan industri film Hollywood. Begitulah akhirnya terjadi perkawinan industri film dengan politik dan kekuasaan yang berujung melahirkan propaganda.
Propaganda, Intelijen dan Islam
Perkembangan industri film Hollywood yang telah melesat jauh, pada akhirnya juga telah melahirkan semangat kebencian dan fitnah terhadap Islam.
Perkembangan industri film Hollywood yang telah melesat jauh, pada akhirnya juga telah melahirkan semangat kebencian dan fitnah terhadap Islam.
Di radio-radio yang anti Arab, banyak terdengar kata-kata seperti, “Orang-orang Arab mencintai Diktator” atau olok-olok seperti orang Arab sebagai “joki unta”, atau juga “kaum fasis-Islam” dan lain-lain.
Seorang pakar komunikasi massa dari Southern Illinois University, Professor Jack G. Shaheen mengatakan, banyak orang begitu terpengaruh oleh pesan dari film-film Hollywood yang telah memfitnah dunia Arab dan Islam. Menurut Jack Shaheen, televisi telah memberikan sebutan kepada orang Arab dengan citra yang selalu buruk sehingga senantiasa diidentikkan sebagai “miliarder” yang hura-hura, “pengebom”, atau hanya “penari perut.”
Seorang pakar komunikasi massa dari Southern Illinois University, Professor Jack G. Shaheen mengatakan, banyak orang begitu terpengaruh oleh pesan dari film-film Hollywood yang telah memfitnah dunia Arab dan Islam. Menurut Jack Shaheen, televisi telah memberikan sebutan kepada orang Arab dengan citra yang selalu buruk sehingga senantiasa diidentikkan sebagai “miliarder” yang hura-hura, “pengebom”, atau hanya “penari perut.”
Dalam buku berjudul “Guilty: Hollywood Verdict on Arabs after 9/11”, Jack Shaheen, mengungkapkan bahwa industri film Hollywood telah membentuk pola pikir masyarakat AS terhadap dunia Arab.
Cendekiawan Muslim, Ziauddin Sardar bahkan lebih memperjelas, “pencucian otak anti Islam” seperti bukan sebuah hal yang baru. “Mulai dari jaman Voltaire hingga tahun 1980, Barat selalu membenarkan anggapan bahwa Islam tidak pernah menghasilkan hal-hal berharga dalam hal filosofi, ilmu pengetahuan dan pembelajaran,” ujarnya.
Cendekiawan Muslim, Ziauddin Sardar bahkan lebih memperjelas, “pencucian otak anti Islam” seperti bukan sebuah hal yang baru. “Mulai dari jaman Voltaire hingga tahun 1980, Barat selalu membenarkan anggapan bahwa Islam tidak pernah menghasilkan hal-hal berharga dalam hal filosofi, ilmu pengetahuan dan pembelajaran,” ujarnya.
Pencitraan seperti ini terus berlanjut hingga kini, bahkan berkembang jauh lebih modern dan canggih. Masalahnya, pola seperti itu saat ini didukung oleh institusi kekuasaan dan negara. Sejarah juga mencatat bahwa pola seperti ini, kini digunakan juga oleh aparat intelijen.
Dalam sebuah wawancara dengan situs Kristen, Reformata, (7 Juni 2011), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai mengatakan, “Jelas tujuan mereka adalah negara Islam, khilafah dan penegakan syariat Islam.”
Jika pernyataan itu benar, maka ada pertanyaan besar untuk Mbai. Apakah ia sadar dengan apa yang diucapkannya? Apakah beliau bisa membedakan antara Islam sebagai bangunan besar dengan bagian-bagian Islam itu sendiri yang di dalamnya ada; syariat Islam, perintah jihad, dan lain-lain? Penulis berhusnudzon, mudah-mudahan yang bersangkutan tidak paham.
Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Dari bangun tidur hingga buang hajat. Jika seorang mengaku Muslim, maka ia wajib mengikuti aturan ini. Syariat mengatur khitan, akad nikah, merawat jenazah, dan bersuci yang benar. Itulah yang membedakan Islam dengan agama lain. Sungguh sangat berbahaya, jika ada aparat negara tak bisa membedakan masalah ini dan bicara sembarangan.
Sebelumnya, April 2011, sebuah LSM asing bahkan mendesak pemerintah ikut mengawasi sekolah-sekolah. Sidney Jones, pengamat dari International Crisis Group (ICG) meminta pemerintah mengawasi kegiatan ekstrakurikuler seperti kerohanian Islam (Rohis).
Jika yang mendesak pengawasan ini atau yang mengatakan konsep Islam salah tersebut pihak asing, atau pencitraan seperti ini dilakukan oleh Hollywood atau Pentagon bisa kita maklumi. Namun, jika ini dilakukan oleh orang yang kini berkuasa memegang BNPT, maka sungguh berbahaya.
Pernyataannya yang mengatakan tujuan kelompok radikal adalah negara Islam, khilafah dan penegakan syariat Islam, adalah pernyataan gebyah uyah (Jawa: memukul rata, -red), betapa sesungguhnya ia tak begitu mengerti Islam.
Pernyataannya yang mengatakan tujuan kelompok radikal adalah negara Islam, khilafah dan penegakan syariat Islam, adalah pernyataan gebyah uyah (Jawa: memukul rata, -red), betapa sesungguhnya ia tak begitu mengerti Islam.
Tidak semua orang Islam berpikiran radikal dan suka tindakan teror. Dan tak semua yang berpikiran radikal pasti membunuhi orang. Logika seperti ini sama dengan logika tidak semua polisi dan aparat sebagai backing bandar judi dan narkoba. Jika ada 100 oknum polisi menjadi backing bandar narkoba, apa bisa institusi Polri didesak untuk dibubarkan, setidaknya diprioritaskan untuk diawasi intelijen? Bisa tersinggung Kapolri. Begitu juga dengan penyebutan istilah-istilah dalam Islam.
Lagi pula, mengapa seringkali Islam seolah-olah terus dihadapkan sebagai musuh negara? Kurang apalagi dengan Islam jika umat boleh menagih sejarah.
Jika “Sejarah Babad Tanah Jawi” masih bisa dipercaya, maka sekitar 6000 orang lebih -terdiri atas para ulama dan keluarganya- menjadi korban kekejaman Amangkurat I.
Siapa pun tahu, para pejuang kemerdekaan yang berada di garda depan mempertahankan negara, dan yang tubuhnya berdarah-darah untuk negeri ini juga kaum Muslim. Ada Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, mereka semua adalah ulama, bukan preman. Tapi mengapa saat ini umat Islam dihadapkan dengan negara dan segala hal berbau Islam dicurigai?
Jika negara menggunakan cara pandang seperti halnya Ansyaad Mbai, maka sama halnya negara melarang umat Islam percaya agamanya. Sama halnya ingin mengatakan kepada semua orang tua: “Awas! Jangan sampai anak-anak Anda menjadi orang yang saleh atau salihah.” Maka, mungkinkah negara lebih percaya preman jalanan untuk mengurus negeri ini? Wallahu a’lam. SUARA HIDAYATULLAH, JULI 2011