Dualisme dan Penistaan Asma Allah

Tuesday 10 January 2012

Oleh: Kholili Hasib

TRAGEDI akademik terjadi lagi di sebuah kampus Islam. Kali ini dilakukan WU, dosen STAIN Jember, di hadapan mahasiswanya. Seperti diberitakan hidayatullah.com pada (6/1/2012), WU menghapus lafadz Allah Subhanahu wa Ta’ala  dengan sepatunya. Kontan, aksi yang meresahkan mahasiswa tersebut dikecam PCNU (Pengurus Cabang Nahdhatul Ulama) Jember.

Rais Syuriah PCNU Jember, KH Muhyiddin Abdusshomad menilai, perilaku dosen tersebut dapat dikategorikan masuk pada wilayah kekeliruan akidah. Berdasarkan hasil Bahtsul Masail PCNU Jember yang dilaksanakan pada 31 Desember 2012, aksi WU dihukumi haram, dan menyebabkan kemurtadannya dari Islam.

Agnostik

Sayangnya, Ketua STAIN Jember Dr. Khusnuridho menganggap apa yang dilakukan WU tidak membahayakan akidah. Alasannya, aksi tersebut dilakukan masih pada wilayah akademik. Apapun alasan pelaku melakukan aksi itu, secara etis hal tersebut tidak patut dilakukan. Sangat sulit diterima akal sehat jika ada yang mengatakan bahwa ilmu terbebas dari adab. Sebabnya, ilmu itu dipelajari agar seseorang itu menjadi beradab, beretika dan beriman.
 Pelakunya memang telah diberi sanksi. Karena dinilai oleh pihak kampus masih wilayah akademik, maka sangat mungkin sanksinya bukan sanksi syari’ah. Tidak ada penjelasan, hukuman apa yang diberikan pihak kampus.
Ustadz Idrus Ramli, pengurus PCNU Jember, tidak sepakat jika aksi WU dinilai tidak membahayakan akidah dengan alasan  masih berada pada wilayah akademik. “Pendapat tersebut berangkat dari dua hal. Pertama, ilmu pengetahuan itu bebas nilai. Kedua, asumsi bahwa akidah Islam secara general maupun parsial tidak memiliki landasan ilmiah”, jelasnya.

Pembebasan ilmu dari nilai-nilai keyakinan tidak pernah ditemukan dalam tradisi Islam. Ilmuan muslim juga tidak mengajarkan bahwa agama diasumsikan dogma yang tidak ilmiah tradisi ini merupakan warisan para filsuf Barat. Seperti filsuf August Comte, dengan nada sinis pernah mengatakan bahwa pencerahan itu ditandai kebangkitan sains dan jatuhnya agama. Fase teologis sudah kuno karena tidak rasional.

Jika dilacak  juah ke belakang, ternyata bibit-bibit pemikiran tersebut ditemukan pada suatu kelompok intelektual di zaman Yunani kuno. Mereka anti ilmu dan tidak tertarik pada agama. Pelecehan-pelecehan terhadap sebuah keyakinan merupalah hal yang lumrah  dilakukan pada saat diskusi. Mereka disebut kaum shopist yang agnostik.

Aksi penistaan lafadz Allah di kampus STAIN Jember tersebut dapat dikategorikan salah satu karakter kaum agnostik (la adriyah). Kaum agnostik merupakan salah satu ciri kelompok shopist  pada era Yunani kuno.

Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud menyebutkan ciri pemikiran tersebut: mereka disebut kelompok la adriyah karena selalu mengatakan tidak tahu atau selalu ragu-ragu tentang keberadaan sesuatu sehingga menolak kemungkinan seseorang meraih ilmu pengetahuan. Mereka juga penganut dualisme, kerena cenderung menyempitkan ruang lingkup iman dan perilaku. Bagi pengikut dualisme, ilmu itu bebas nilai (free value). Ilmu pengetahuan tidak ada kaitan sama sekali dengan keyakinan. Ilmu itu sendiri, dan keyakinan itu berada di tempat tersendiri, terpisah dari ilmu.

Dalam filsafat ilmu, dualisme merujuk kepada dikotomi subyek-obyek, realitas subyektif dan obyektif. Kebenaran pun menjadi dua kebenaran, yaitu obyektif dan subyektif. Jika dualisme memasuki ranah agama, maka menimbulkan pemikiran sekularistik. Kakinya boleh mengingjak-injak al-Qur’an, tapi hatinya menyebut asma Allah. Bagi seorang dualis, aksi ini bukan masalah. “Yang penting iman itu dalam hati, bukan di kaki”, barangkali itu alasannya.

Fenomena dualisme kata pengamat pemikiran, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi telah memenuhi pikiran manusia modern. Faham tersebut menyebabkan kekacauan berpikir. Tidak hanya itu, pemikian kaum shopis juga menciptakan istilah-istilah yang rancu. Seperti “kafir yang sholih”, “lesbianis yang sholihah” dan lain sebagainya.

Pemikiran ini rancu sebab memilah-milah secara dikotomik konsep kafir dan konsep sholih. Padahal dua kata tersebut saling kontradiksi. Islam memiliki parameter yang telah baku dan relevan. Untuk menjadi seorang yang sholih itu pertama-tama harus beriman. Maka tidak mungkin gelar sholih disematkan kepada seorang penantang Allah. Hal tersebut jelas tidak tepat.

Aksi merendahkan lafadz Allah dengan alasan perilaku akademis merupakan fenomena pemikiran dualisme. Pemikiran ini memisahkan antar ilmu dan akidah. Kajian keilmuan sendiri, dan akidah sendiri. Iman tidak ada korelasinya dengan perilaku. Iman cukup di hati, kata pemikir dualis.

Ilmu dan Amal

Dalam ajaran Islam, pencarian ilmu dalam rangka memenuhi keperluan spiritual dan meraih kebahagiaan (al-sa’adah) akhirat. Kebahagiaan yang hakiki adalah hakikat spiritual yang kekal. Jika suatu ilmu justru menjauhkan dari jalan kebahagiaan akhirat, maka ada kemungkinan, niatnya salah atau ilmunya yang keliru. Dua-duanya mendatangkan kesesatan.

Imam al-Ghazali dalam “Bidayatul Hidayah” mengidentifikasi seorang pencari ilmu yang salah. Di antaranya belajar semata-mata karena ingin mendapatkan popularitas dan memperbanyak kepuasaan duniawi. Pelajar yang demikian menurut Imam al-Ghazali berpotensi kuat menjadi pemimpin yang tersesat.

Umar bin Khattab ra pernah mengingatkan fenomena cendekiawan yang tidak beradab. Dikutip oleh imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin beliau berkata: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terhadap umat ini adalah orang pintar yang munafik. Para sahabat bertanya: Bagaimana bisa seseorang itu menjadi munafik yang pintar? Umar menjawab: Yaitu orang yang pandai berbicara (bak seorang alim), tapi hati dan perilakunya jahil”.
Orang yang disebut Umar ra tersebut merupakan orang yang pandai, intelektualnya tinggi, akan tetapi hatinya kotor. Niat berilmu bukan mencari kebahagiaan akhirat. Sehingga antara ilmu dan amal tidak berkorelasi. Perawakannya berilmu akan tetapi perilakunya tidak beradab. Fenomena seperti inilah yang oleh Umar ra. dikhawatirkan akan merusak etika umat manusia. Orang yang memisahkan ilmu dan amal, seperti disebut Umar ra, inilah barangkali yang saat ini disebut kaum dualis.*
Penulis adalah peneliti InPAS Surabaya
Share this article :
 
Support : Creating Website | Bagus Tirtayasa
Copyright © 2011. BEM STEI SEBI - All Rights Reserved
Creating Website Inspired by INKOM BEM STEI SEBI
Proudly powered by Blogger