Angkat Bicara untuk Perusakan Masjid

Sunday 15 January 2012


Di seluruh dunia, orang-orang dibuat geram oleh berita dirusaknya masjid-masjid di Israel dan ditorehkannya grafiti rasis di dinding-dinding masjid itu. Orang-orang Yahudi Israel merasa malu. Kami bertanya pada diri kami sendiri: apakah para pelakunya mengerti sejarah dan teologi Yahudi, yang jelas mengajarkan penghormatan terhadap setiap manusia dan perlunya melawan ketidakadilan di mana pun kita melihatnya?


Saya, seorang anak muda Yahudi Inggris yang tumbuh besar dalam bayang-bayang Holocaust, tahu tentang Kristallnacht (Malam jernih), suatu malam pada tahun 1938 ketika puluhan sinagog di Jerman diserang. Dalam kelompok diskusi anak muda kami pernah membincangkan bagaimana pengambinghitaman orang-orang dan perusakan bangunan ibadah mereka adalah langkah pertama menuju pembantaian massal. Kami pun dengan bangga memproklamirkan, “jangan pernah ada lagi”—jangan pernah lagi ini terjadi kepada orang-orang Yahudi; dan jangan pernah pula ini terjadi pada orang-orang lain. 

Kami memahami perintah Injil akan adanya sebuah negara Yahudi merdeka untuk melindungi siapa saja, termasuk mereka yang memiliki tradisi berbeda.

Menggali hubungan kami dengan agama-agama lain, kami mendapati bahwa sejak zaman pertengahan, rabbi-rabbi besar mengajarkan kepada para pengikut mereka bahwa Islam adalah sebuah agama monoteis yang penganutnya harus diperlakukan dengan respek. Ketika filsuf besar Yahudi, Maimonides, merenung mengapa Tuhan menciptakan begitu banyak orang yang keyakinannya berbeda dari keyakinannya, ia menyimpulkan bahwa meskipun kehendak Tuhan tidak bisa sepenuhnya dipahami, Islam dan Kristen tampak menjadi bagian dari rencana Tuhan untuk menyebarkan monoteisme etis ke seluruh dunia. 

Pendekatan liberal terhadap tradisi-tradisi agama lain ini mendapatkan ujian ketika negara modern Israel dideklarasikan pada 1948. Bagaimanakah negara Yahudi memperlakukan komunitas agama lain? 

Kepala Rabbi pertama Israel memikirkan pertanyaan ini dan dengan jelas menegaskan bahwa menurut hukum Yahudi, Muslim dan Kristen berhak mendapatkan kewarganegaraan penuh di negara baru ini. Penegasan ini dikukuhkan dalam Deklarasi Negara Israel, yang menyatakan bahwa negara baru ini akan “menjunjung kesetaraan sosial dan politik penuh dari semua warganya, tanpa pembedaan ras, keyakinan atau jenis kelamina; akan menjamin kebebasan penuh untuk berpikir, beribadah, berpendidikan dan berkebudayaan; akan menjaga kesucian dan kekeramatan tempat-tempat ziarah dan tempat-tempat suci semua agama.”

Ironisnya, Rabbi Abraham Isaac Kook, Kepala Rabbi pertama Tanah Suci dan ikon gerakan Zionis, yang memperingatkan bahwa nasionalisme Yahudi, seperti halnya nasionalisme yang lain, mengandung bahaya xenofobia. Ia memandang negara Yahudi yang baru lahir sebagai pemenuhan ramalan kuno dalam Injil dan ia yakin bahwa negara ini akan menakjubkan, kreatif dan etis. Namun, ia juga mengingatkan bahwa tanpa dipenuhinya tanggung jawab oleh negara baru ini terhadap semua warganegara, "negara ini [akan] pada akhirnya membakar membuyarkan moralitas bila ia melabrak batas-batasnya." 

Peringatannya tepat sekali. Suatu filosofi xenofobia tengah tumbuh di sini, yang mengabaikan hak-hak yang absah dari orang-orang Palestina yang keluarganya telah hidup di sini selama beberapa generasi. Filosofi ini tetap saja hanya dimiliki oleh sekelompok kecil masyarakat Israel, namun ini berbahaya dan harus dihentikan. Bermula dari retorika angkuh tidak menyenangkan, yang berbuntut serangan ke perkebunan zaitun orang Palestina, meletuplah kekerasan terhadap orang-orang dan masjid-masjid. Ironisnya, kekerasan ini kini berbalik arah, berkembang menjadi serangan ke para prajurit Israel yang tugasnya mempertahankan hukum dan ketertiban, melindungi para warga dan memenuhi komitmen Israel untuk memindahkan permukiman ilegal.

Mungkin perkembangan-perkembangan ini hanyalah bagian dari fenomena meningkatnya intoleransi beragama di dunia. Atau mungkin akibat dari kekecewaan atas mundurnya Israel dari Gaza yang tidak menghentikan seringnya serangan roket melintasi perbatasan. Atau mungkin ini ketakutan Israel bahwa Iran punya ambisi nuklir dan ingin menghancurkan Israel. Ini adalah ancaman-ancaman eksistensial yang membuat takut banyak orang Yahudi Israel dan merusak keyakinan mereka pada mungkinnya perdamaian. Di tengah situasi ini, para pemukim tidak mau menerima kemungkinan kalau mereka akan dipindahkan dari rumah-rumah mereka sebagai imbalan untuk sebuah mimpi akan perdamaian.

Terlepas dari ketakutan-ketakutan ini, aksi-aksi perusakan terhadap warga Palestina yang tidak bersalah, tempat tinggal dan tempat ibadah mereka adalah tidak bermoral, tidak sesuai dengan nilai-nilai Yahudi, dan tidak bisa diterima. Mereka mencemarkan nama orang-orang beriman dan mereka mencemarkan nama Tuhan.

Kita harus mengecam intoleransi beragama dan bekerja lebih keras untuk adanya dialog dan perdamaian. Kita harus mendesak para pemimpin (Yahudi) kita untuk meraih kesepakatan yang adil dengan rakyat Palestina, menyegerakan masa ketika setiap penghuni negeri ini bisa hidup dalam perdamaian, keadilan dan martabat. Inilah visi Israel yang tertuang dalam Taurat, “Mereka akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak, dan tombak-tombak mereka menjadi pisau pemangkas. Bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan belajar perang lagi” (Yesaya 2:4).*
Share this article :
 
Support : Creating Website | Bagus Tirtayasa
Copyright © 2011. BEM STEI SEBI - All Rights Reserved
Creating Website Inspired by INKOM BEM STEI SEBI
Proudly powered by Blogger