BALANCING & OPTIMALISASI PAJAK DAN ZAKAT
Pajak adalah sebagai salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh warga negara sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (sehingga dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung yang berfungsi dalam meningkatkan pembangunan nasional seperti infrastruktur, kesejahteraan umum dll dan fakta bahwa pajak adalah pendapatan negara terbesar yang tercantum dalam kebijakan fiskal.
Tetapi dengan segala kelebihan yang ada di dalam sistem perpajakan ini justru tersibak sebuah lubang besar dan mungkin sebuah kenyataan besar yang memang kita lihat ini sebagai sebuah ketragisan, yaitu persoalan distribusi (keadilan) ekonomi yang tidak tercapai hingga saat ini sehingga berimbas pada permasalahan kemiskinan yang saat ini menjadi agenda global dan nasional yang tak bisa terpecahkan.
Dan permasalahan pajak hingga saat ini pun tidak pernah tuntas, mulai dari sistem penerimaan, pengelolaan, distribusi atau penyaluran pajak untuk elemen-elemen pembangunan nasional, hingga kasus-kasus pajak dan permasalahan penyelewengan pajak dll. Hal ini tentu dapat menyebabkan kerugian bagi negara, padahal dengan kita membayar pajak, dapat menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung berdasarkan undang-undang dan tidak juga menutup kerugian-kerugian lain yang tentu akan menghabiskan tenaga yang harusnya tersalurkan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan negara yang lain.
Berdasarkan analisis ini, maka akan coba dikomparatifkan dg salah satu sistem yang akan menjadi solusi dalam permasalahan-permasalahan ini, yaitu zakat.
Zakat sebagai salah satu elemen yang concern kepada pembangunan sosio-ekonomi rakyat (umat) mempunyai perhatian yang tinggi untuk melepaskan kemiskinan dan keterbelakangan, tanpa harus didahului oleh gerakan revolusi kaum miskin dalam menuntut perubahan nasibnya. Perhatian terhadap kemiskinan ini pun tidak bersifat insidentil, tetapi reguler dan sistematis.
Keberadaan zakat sebagai sebuah instrumen sosial ekonomi pun memiliki aspek historis tersendiri pada masa kejayaan Islam. Zakat sebagai sebuah elemen dalam dimensi perekonomian telah memainkan peranan penting dalam membentuk aspek fiskal dalam struktur perekonomian sebuah negara.
Pada kenyataan yang ada negara-negara Islam khususnya Indonesia mengalami ketergantungan yang tinggi terhadap sistem dan pola yang ditawarkan oleh sistem ekonomi dan keuangan konvensional, tidak heran jika jumlah hutang luar negeri Indonesia sangat besar dan inilah kemudian yang menyebabkan terjadinya proses pendiktean oleh negara dan lembaga donor terhadap Indonesia sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk keluar dari perangkat hutang tersebut. Padahal, solusi penyelesaiannya sebenarnya tergantung dari kemauan kita untuk bisa lepas dari hutang dan ketergantungan terhadap asing dengan cara membangun fundamental ekonomi yang kuat dengan mengoptimalkan potensi ekonomi masyarakat, sehingga nantinya akan tercipta sistim ekonomi dan keuangan yang lebih mandiri.
Keberadaan Zakat di Indonesia pun belum mampu di optimalkan dengan baik oleh negara, padahal potensi keberadaan zakat yang luar biasa mampu memberikan solusi terhadap pengentasan kemiskinan dan memberikan kesejahteraaan berupa pemerataan pendapatan antara kaum kaya dan miskin, kemudian mengurangi kesenjangan sosial, tercapainya keadilan dalam ekonomi, dan pengelolaan zakat pun bisa difungsikan ke dalam distribusi konsumtif berupa santunan untuk fakir miskin dsb maupun distribusi produktif berupa permodalan usaha kecil untuk kaum miskin pula, sehingga apabila semua aspek ini telah berjalan dengan mulus dan zakat itu sendiri pun telah memperoleh pendapatan yg optimal maka harapan bersama adalah zakat dapat disertakan dalam kebijakan fiskal.
Kemudian slama ini pun pemerintah hanya mempropagandakan pajak sebagai kewajiban yang dikenakan kepada masyarakat, dengan mengesampingkan kewajiban zakat padahal notabene Indonesia adalah penduduk muslim terbesar di dunia dan kami menuntut kepada pemerintah agar secara serius terlibat dan mendukung penuh dalam sistem zakat seperti sosialisasi, pengelolaan, regulasi dsb.
Selanjutnya pada UU Zakat No.38 tahun 1999 pun sendiri bila diteliti hanya sebatas tataran konsep definitif, teknik aplikatif dan regulatif saja, sebagai contoh pada Pasal 2, “Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat.” dan
Pasal 3, “Pemerintahan berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzzaki, mustahiq, dan amil zakat.” Tidak ada aplikasi nyata dari pemerintah dan tidak ada kekuatan penerapan di dalam masyarakat dan dituntut pula agar pemerintah membuat kebijakan yang bersifat aplikatif dan represif (paksaan) terkait kewajiban zakat dan definisi zakat sebagai harta yang tumbuh dan berkembang harus diimplementasikan dalam sebuah kebijakan yang nyata di lapangan.
Sebagai implikasi kebijakan, idealnya pemerintah lebih serius dalam mengoptimalkan peran zakat sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Untuk mendukung keseriusan ini pemerintah dapat membuat suatu gerakan nasional yang dapat menggugah kesadaran masyarakat untuk berzakat, sebagaimana halnya dengan gerakan keluarga berencana nasional yang terprogram, terarah dan berkesinambungan. Gerakan ini juga hendaknya didukung oleh gerakan edukasi masyarakat tentang pentingnya berzakat baik bagi individu, maupun bagi kelompok masyarakat, maupun masyarakat luas secara umum. Tanpa demikian mungkin akan sulit mewujudkan realisasi zakat untuk mencapai potensinya. Karena sebagaimana kita lihat gerakan keluarga berencana yang terprogram baru menampakkan hasilnya setelah 20-30 tahun. Keberhasilan gerakan ini akan menjadikan negara ini menjadi negara yang mandiri setidaknya dapat menggunakan dana ini dalam usaha-usaha pengentasan kemiskinan yang selama ini masih menggunakan dana pinjaman dari luar negeri.
Dan sebagai tuntutan yang terakhir adalah diharapkan agar pemerintah dapat memberdayakan pajak dan zakat secara beriringan sesuai dengan fungsinya masing-masing dimana pajak dapat dialokasikan untuk kebutuhan pembangunan nasional seperti infrastruktur dsb dan zakat dapat dialokasikan untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial ekonomi, dan sekali lagi secara tegas mengecam konsentrasi asset kekayaan pada sekelompok tertentu dan menawarkan konsep zakat, infaq, sedeqah, waqaf dan institusi lainnya, seperti pajak, jizyah, dharibah, dan sebagainya.
oleh: Jihad Alam Akbar
BALANCING & OPTIMALISASI PAJAK DAN ZAKAT
Monday, 11 July 2011
Labels:
opini