Antara Fikih Kaku dan Fikih Lentur

Wednesday 30 November 2011

 

Oleh: Reza Ageung S

SERINGKALI umat berselisih dalam hal-hal yang tidak perlu diperselisihkan. Atau ada campur baur antara perkara yang sudah principally addopted dengan perkara yang masih dapat ditoleransi ada perbedaan. Kasus debat masalah qunut atau isbal, misalnya, sebetulnya masih dapat dirujuk kepada para ulama madzahib, bagaimana mereka menyelesaikan perbedaaan antar sesama mereka. Inilah kita, seringkali menganggap sebuah pendapat sudah final dan pendapat orang lainlah yang baru, dan karenanya salah.
Kita lupa untuk melacak fakta perbedaan ini dalam sejarah yurispundensi Islam untuk mengetahui adakah perbedaan serupa ada di masa lalu dan bagaimana para ulama dahulu menyikapinya.

Perbedaan semacam ini, jika tidak segera ditengahi, atau jika masing-masing pihak terus keukeuh dengan pendapatnya sembari malas untuk belajar lebih jauh, dapat beralih menjadi perpecahan yang tidak perlu. Seringkali gejalanya berupa munculnya lapisan pelajar agama yang, karena merasa sudah belajar agama, merasa sudah memonopoli kebenaran hingga membutuhkan peluru-peluru berupa vonis bid’ah kepada pihak lain yang tidak sejalan.

Tembakan-tembakan menyakitkan kepada sesama muslim dengan menjuluki ahlul bid’ah dan semacamnya menciptakan jarak-jarak yang tidak perlu antar muslim. Sebagai konsekuensinya, terbentuklah garis batas imajiner antara kelompok A, B, C dan seterusnya, hanya gara-gara masalah fikih. Ini sudah terjadi sejak zaman ormas-ormas ‘lokal’ hingga kini ketika marak pula golongan-golongan ‘impor’.

Jika gejalanya sudah sampai pada tahap kronis seperti ini, maka orang awam menjadi korban. Pertama, mereka bisa ikut-ikutan gemar memvonis tanpa tahu fiqh ikhtilaf-nya. Kemungkinan kedua, mereka bisa jadi malah beralih menjauh dari dakwah, setelah mengetahui dengan salah paham bahwa ternyata Islam itu susah : sedikit-sedikit haram, sedikit-sedikit bid’ah.

Jika munculnya lapisan umat yang terlampau saklek (kaku) hingga intoleran tehadap perbedaan ada di satu kutub sebagai hasil perpecahan yang tidak perlu itu, maka pada kutub lainnya muncul pula selapisan orang yang justru sok berbeda, sok fleksibel (lentur) dalam fikih. Mereka memegang keyakinan bahwa fikih itu lentur dan dapat berubah-ubah sesuai zaman, dan oleh karenanya kita harus bertoleransi terhadap perebedaan dalam perkara fikih.

Namun anehnya, mereka yang berkeyakinan begitu justru malah tidak toleran terhadap saudara muslim lainnya yang memegang secara teguh hal-hal tertentu memang berada dalam wilayah prinsip, taken for granted, misalnya perkara kewajiban mengenakan jilbab bagi muslimah, kewajiban menerapkan Syariah secara kaffah, dan sebagainya. Mereka berpendapat bahwa Islam itu fleksibel sembari memvonis saudara muslim lainnya dengan sebutan kolot, konservatif dan semacamnya, hanya gara-gara tidak mau ‘fleksibel’ dalam berfikih.

Jangan Benturkan Fikih dengan Fikih

Merasa bahwa perbedaan-perbedaan fikih baru terjadi di masa kini adalah sikap yang sembrono dan akar dari perpecahan yang tidak perlu itu. Pada masa lalu pun perbedaan-perbedaan itu sudah terjadi. Bahkan, perbedaan (ikhtilaf) terjadi sejak dari pucuk ulama. Inilah yang memicu lahirnya mazhab-mazhab fikih.

Namun, lahirnya mazhab-mazhab tersebut tidak lantas menimbulkan perpecahan umat karena para imam mazhab, dan demikian pula para ulama, menyikapi perbedaan-perbedaan itu secara bijak. Imam Syafi’i pernah mengatakan, “pendapat saya benar, namun ada kemungkinan salah. Pendapat Anda itu salah, namun ada kemungkinan benar.” Inilah sikap toleran yang benar, sekaligus sikap teguh yang tidak asal saklek.

Jadi jika kita yang di grass-root ini malah membuat perbedaan-perbedaan itu menjadi perpecahan, tidakkah kita telah merasa lebih alim dari para imam mazhab?
Lagipula, dimensi fikih tidaklah satu sisi. Menganggap bahwa fikih merupakan sesuatu yang final dan sudah dari sono-nya begitu hingga tidak adaptif terhadap perubahan telah menghilangkan fungsi fikih sebagai solusi bagi permasalahan kehidupan (ma’alij li masyakilil hayah). Demikian pula, menganggap fikih sebagai hukum yang sangat lentur hingga dapat mengikuti selera zaman yang terus berubah juga berarti meremehkan hukum Allah.

Secara sederhana, fikih memiliki dua wilayah. Ada wilayah prinsip, dan ada wilayah fleksibel. Wilayah prinsip serupa dengan hukum alam. Hukum gravitasi, pembekuan air, hukum gerak dan sebagainya tidak bisa dan tidak mungkin diubah. Kita tidak dapat melawan hukum alam, kita harus mengikutinya. Ada beberapa hal dalam fikih yang seperti ini, biasanya ditandai dengan dalil-dalil yang qath’iy (jelas), seperti hukum-hukum sanksi dalam qur’an (hudud, jinayah, qishash). Selain itu, para ulama juga telah menyusun kaidah-kaidah fikih (qawa’id fiqhiyah) yang ditempatkan dalam ushul (prinsip). Kedua hal ini, menjadi prinsip dalam penentuan hukum Islam. Dalil-dalil qath’iy menjadi “instruksi langsung” dari Allah untuk dikerjakan, tanpa bantahan, tanpa multitafsir.

Wilayah kedua adalah wilayah fleksibel, atau lebih tepat disebut sebagai wilayah perbedaan : aspek fikih yang mentoleransi adanya perbedaan dalam penetapan hukum. Biasanya ditandai dengan dalil-dalil dzanniy (tidak jelas/dugaan) yang masih memungkinkan munculnya perbedaan penafsiran, atau karena beragamnya kekuatan dalil. Persoalan furu’ (cabang) seperti qunut, gerakan shalat,isbal, penentuan jenis zakat fitrah, metode dakwah dan semacamnya adalah wilayah yang membolehkan adanya perbedaan sepanjang berdiri di atas argumentasi yang valid (memiliki dalil).

Wilayah kedua ini adalah wilayah diberlakukannya ijtihad (menggali hukum-hukum dai Qur’an dan Sunnah untuk menyelesaikan permasalahan baru). Ijtihad memungkinkan fikih dapat menjawab permasalahan kontemporer yang belum pernah muncul di masa lalu. Produk ijtihad itulah yang kini populer dengan sebutan ‘fatwa’. Pada wilayah inilah justru kekuatan fikih nampak hingga fikih terus relevan dengan zaman. Sebagai representasi, 4 jilid ‘Fatwa Kontemporer’ karya Dr Yusuf Qaradhawi menunjukkan berkembangnya ijtihad yang mengikuti perkembangan sembari tidak lepas dari ushul (akar)-nya.

Inilah dua wilayah fikih yang seiring sejalan dalam menyelesaikan permasalahan manusia. Dr Shalah Shawi menyebutkan ada aspek tsawabit (prinsipil) dan mutaghayirat (fleksibel/lentur). Jadi, membenturkan kedua hal itu adalah sikap yang menunjukkan ketidakpahaman terhadap karakter fikih Islam.

Bahaya ‘Lenturisasi’ Fikih

Namun, walaupun fikih Islam memiliki dua aspek tersebut, kita masih harus tetap waspada terhadap sebagian pihak yang memahaminya secara kebablasan. Mengetahui bahwa fikih Islam memiliki aspek mutaghayirat, mereka mencoba menjadikan fikih Islam terlampau lentur, dengan dalih agar Islam tetap sesuai dengan zaman.

Hanya saja yang terjadi justru wilayah suci tsawabit dilanggar. Apa yang sudah qath’iy dipaksa masuk wilayah fleksibel, seolah-olah dalilnya dzanniy. Cukuplah kiranya kasus Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam yang digagas Siti Musdah Mulia merepresentasikan golongan kebablasan ini. Dalam CLD tersebut disebutkan antara lain bahwa pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, ijab kabul bukan rukun nikah, dan sebagainya.

Orang-orang semacam dia ada juga yang berpendapat hukum qishash dan hudud sudah tidak cocok lagi, jilbab tidak wajib, wanita muslimah boleh menikahi orang kafir, bolehnya wanita menjadi imam shalat Jum’at dan seterusnya.

Komunitas serampangan ini, yang dalam satu dekade ini telah terang-terangan menyematkan kata liberal untuk nama kelompok mereka, bermasalah dalam menentukan standar penentuan hukum. Mereka yang silau dengan tsaqofah (pemikiran) asing menjadikan hermeneutika sebagai metode tafsir, dan menjadikan nilai-nilai humanisme, demokrasi, emansipasi wanita dan modernisme sebagai standar penentuan hukum fikih. Kontan saja, ayat-ayat pun diperkosa demi menyesuaikan Islam dengan apa yang mereka sebut sebagai masyarakat modern.

Bagi kita, kejumudan dan kebekuan dalam fikih Islam harus didobrak, demikian pula lenturisasi fikih mesti ditolak. Dua kutub berlawanan ini sama-sama menghilangkan fungsi asal fikih sebagai pemecahan permasalahan manusia lewat ketaatan pada Allah. Fikih harus dijaga agar wilayah prinsipnya tetap berlaku final dan tidak berubah sepanjang zaman, di sisi lain juga wilayah mutaghayirat-nya dapat menjawab permasalahan-permasalahan baru yang muncul di setiap zaman, hingga fikih tetap relevan dengan perubahan masa.*

Penulis mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah
Balikpapan
Share this article :
 
Support : Creating Website | Bagus Tirtayasa
Copyright © 2011. BEM STEI SEBI - All Rights Reserved
Creating Website Inspired by INKOM BEM STEI SEBI
Proudly powered by Blogger