Ini Adalah Tentang KITA

Wednesday, 20 July 2011

 Oleh : Jihad Al-Akbar
Sepertinya saya dan kita semua sudah ‘eneg’ dan bosan ya rasanya melihat kesemrawutan dan kotornya perpolitikan dan pemerintahan negara kita tercinta ini, sampai-sampai tidak sedikit rakyat khususnya pemuda-pemuda yang jijik dan enggan berkenalan dengan yang namanya politik dan pemerintahan, padahal tidak kita ingkari pemuda adalah salah satu elemen investasi terbesar pembangun peradaban, dan rakyat adalah unsur pembentuk negara, kalau sudah tidak ada lagi sinergi atau simbiosis antara pemerintah, negara dan rakyat, mau dibawa kemana arah kemajuan negara kita tercinta ini?

Mungkin sebenarnya krisis nomor wahid yang dari dulu hingga saat ini sedang kita pikul dan susah untuk kita lepaskan adalah persoalan krisis kepemimpinan. Orang-orang munafik yang mengisi posisi-posisi strategis disana mungkin tidak pernah melihat saudara-saudara kita, teman-teman kita yang ada di lampu merah sana kawan, yang ada di pasar dengan hanya bermodal kayu lalu sedikit dipasang tutup-tutup botol minuman lalu berharap uang Rp. 500 atau mungkin lebih sedikit dapat mereka genggam, mereka tidak melihat orang-orang tua tidur di emperan-emperan toko, mungkin mereka hanya melihat hiruk pikuk antrian mobil-mobil mewah di Ibukota ya, atau mungkin mata mereka dibutakan? Atau telinga mereka tuli ya? Gila memang negeri ini. Entahlah, yang pasti saya setuju dengan ungkapan seorang aktivis mahasiswa Orde Lama, Soe Hok Gie, “Lebih baik diasingkan daripada mati pada kemunafikan”, atau ungkapan kepesimisan oleh Ahmad Wahib (aktivis mahasiswa islam Orde Lama) ini kawan,”Semuanya ini membuat aku cemas menghadapi masa depan, gairah, senang, tapi di lain pihak putus asa, takut, cemas, dan lain-lain.”
Tetapi jangan kita keliru menanggapi semua kecemasan, kekelaman, kesuraman ini kawan. Kesuraman ini tidak menyebabkan kita jatuh pada keadaan, ataupun berada dalam suatu inaction (mati gerak) atau statis, tetapi justru kesuramanlah yang memacu kita untuk senantiasa bersikap dinamis, membongkar segala-galanya yang dzolim dan menyusun baru kembali segalanya pula. 

Ketika di awal-awal dekade kejayaan Indonesia, sebenarnya kita pun telah ditipu dan dipengaruhi oleh permainan-permainan birokrasi, ketika gerakan-gerakan kemahasiswaaan di Indonesia mulai di-intervensi dan ‘disetir’ oleh kepentingan-kepentingan birokrasi, yang pasti saya yakin itu adalah modus, dan ini mengawali krisis kepercayaan kita.

“Langit akhlak rubuh, di atas negeri berserak-serak. Hukum tak tegak, doyong berderak-derak….. Malu aku jadi orang Indonesia.”
(Taufiq Ismail)
Begitulah Taufik Ismail lewat sajak yang berjudul Malu (Aku) jadi orang Indonesia memdeskripsikan secara jelas dekonstruksi negara ini.

Ada ide menarik tentang reformasi kepemimpinan yang dalam kata lain membersihkan bumi ini dari kepemimpinan yang tidak baik, penuh kedzaliman dan penindasan digantikan dengan kepemimpinan yang baik (sholeh), adil dan menyejahterakan. Kita pun sebenarnya masih bingung jembatan apa yang dibutuhkan diantara cita-cita Indonesia yang menjulang dan realitas, kapasitas dan kapabilitas negara kita yang pas-pasan, tetapi idealnya kita tetap memperjuangkan berdirinya sistem kepemimpinan yang baik. Tentu, semua orang tahu bahwa kesejahteraan atau kemusnahan manusia bergantung kepada siapa yang memimpin, lihat saja keretapi ; arah perjalanannya ditentukan oleh lokomotif. Para penumpang di dalam gerbong seakan tidak ada pilihan lain kecuali dengan arah yang dibawa oleh lokomotif. Tetapi tentu sebelumnya penumpang berhak menentukan pilihan kemana tujuan akhirnya hingga sampailah kita pada sebuah pilihan, menjadi lokomotif yang baik atau penumpang yang baik.

Sungguh, saya yakin bahwa kita semua rindu akan kejayaan 14 abad yang lalu, karunia yang luar biasa mungkin apabila kita dapat hidup di masa itu, bermesra-mesraan dengan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan. Rindu kita akan negarawan-negarawan besar seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib ; kemudian ada penakluk-penakluk raksasa seperti Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Hamzah bin Abdul Muthalib, Al-Fatih, Sholahuddin Al-Ayyubi ; ada ulama-ulama masyhur seperti Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Imam-imam madzhab dll ; kemudian ada lagi intelijen handal seperti Salman Al-Farisi ; ada perawi-perawi hadits yang cerdas seperti Abu Hurairah, Aisyah ; ada pengusaha-pengusaha konglomerat dan hebat seperti Abdurrahman bin Auf, Khadijah dan tentu kita ingat pada abad ke-18 ketika Indonesia dipenuhi dengan pejuang-pejuang tangguh seperti Pangeran Diponegoro, Bung Tomo, Buya Hamka, KH. Ahmad Dahlan dll. Pada setiap mereka berdiri satu menara kehidupan yang tinggi yang menerangi alam raya dengan cahaya yang terang benderang.


Dan kemudian risalah-risalah dan karya-karya itu terwariskan dari masa ke masa secara kontinyu, hingga terhentilah warisan itu pada 3 abad terakhir ini. Dan cukuplah kita muarakan semua ini dalam satu keyakinan seperti Sayyid Quthb ramalkan situasi ini dan berkata dengan penuh keyakinan bahwa “Islam adalah masa depan”, atau “Masa depan di tangan Islam” dan keyakinan bahwa gerhana yang menutupi sinar risalah untuk sampai ke bumi ini segera berakhir.


*sebuah koreksi untuk saya, kita, dan mereka.

Wallahu’alam


Share this article :
 
Support : Creating Website | Bagus Tirtayasa
Copyright © 2011. BEM STEI SEBI - All Rights Reserved
Creating Website Inspired by INKOM BEM STEI SEBI
Proudly powered by Blogger